Di era digital yang serba cepat, kenyamanan berkomunikasi dan bertransaksi secara online seringkali diiringi dengan risiko keamanan yang tak kalah serius. Salah satunya adalah social engineering, sebuah metode manipulasi psikologis yang digunakan penjahat siber untuk menipu korban. Tanpa perlu membobol sistem yang rumit, para pelaku hanya mengandalkan kelengahan manusia.

Fenomena ini semakin marak di Indonesia. Modusnya beragam, mulai dari SMS yang berpura-pura dari bank, telepon langsung yang mengaku dari instansi resmi, hingga praktik carding (penyalahgunaan data kartu kredit/debit). Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum memahami betapa canggihnya trik-trik manipulasi ini.

Lalu, bagaimana modus-modus Social Engineering yang sering terjadi?

1. SMS Phishing (Smishing)

Dalam modus ini, calon korban menerima SMS berisi tautan palsu, misalnya pemberitahuan menang undian atau akun bank yang “diblokir”, bahkan provider-provider komunikasi terkenal pun sering dimanfaatkan oleh pemain kotor untuk melakukan ini. Saat link dibuka, korban diarahkan ke situs palsu diminta memasukkan data pribadi. bahkan bisa menyedot pulsa HP secara konsisten dan periodik jika kita tidak menyadarinya.

2. Telepon Langsung (Vishing)

Modus “halo, saya dari bank/telekomunikasi/pihak kepolisian” sering dipakai untuk menakut-nakuti korban. Dengan suara meyakinkan, pelaku menggiring korban menyerahkan OTP, PIN, atau nomor kartu.

Modus Ini bekerja dengan cara: 

Membangun Kepercayaan: Pelaku menggunakan nada suara yang meyakinkan, sering kali terdengar sopan atau bahkan tegas seperti seorang pejabat resmi. Ada yang bahkan meniru suara mesin penjawab otomatis bank agar lebih meyakinkan.

Menggunakan Nomor yang Mirip Resmi: Nomor telepon bisa dimanipulasi (spoofing) agar terlihat seperti berasal dari call center bank atau instansi pemerintah. Hal ini membuat korban semakin yakin.

Memainkan Emosi Korban: Seperti Tekanan dan ketakutan: “Akun Anda akan segera diblokir jika tidak verifikasi sekarang.” Rasa senang: “Selamat, Anda mendapatkan hadiah undian. Mohon verifikasi data untuk klaim.” Rasa panik: “Ada transaksi mencurigakan dari akun Anda, segera berikan kode OTP untuk membatalkan.”

Jika sudah mendapatkan keinginannya, data yang didapatkan akan digunakan untuk mencuri uang dari rekening, melakukan transaksi online, atau bahkan menjual data pribadi korban di forum gelap.

3. Carding

Pada Modus ini, data kartu kredit/debit yang bocor dijual atau digunakan pelaku untuk bertransaksi ilegal. Korban baru menyadari ketika ada notifikasi pembelian yang tidak pernah dilakukan.

Bagaimana Modus Carding Bekerja? Biasanya pelaku menggunakan modus pencurian data kartu. Data penting dari kartu kredit/debit seperti nomor kartu (16 digit), tanggal kadaluarsa, dan CVV/CVC (tiga digit di belakang kartu) dicuri dengan berbagai cara, misalnya:

a. Phishing: Korban diarahkan ke website palsu yang menyerupai halaman pembayaran resmi, lalu diminta mengisi data kartu.

b. Skimming: Data disalin menggunakan alat kecil yang dipasang di mesin ATM atau mesin EDC (mesin gesek).

c. Kebocoran database: Situs belanja online atau layanan keuangan yang diretas bisa membuat data kartu bocor.

d. Malware: Program jahat yang menyusup ke komputer/ponsel mencuri data saat pengguna melakukan transaksi.

Setelah mendapat data, pelaku langsung menggunakannya untuk: Berbelanja online (pembelian barang, tiket, langganan digital), menjual kembali data kartu di dark web kepada sindikat carder lain, melakukan uji coba (carding test) dengan transaksi kecil untuk memastikan kartu masih aktif, sebelum melakukan transaksi besar.

Biasanya korban baru sadar saat telat dimana banyak korban tidak langsung menyadari kartunya dibobol, sampai menerima notifikasi transaksi aneh atau saat tagihan kartu kredit datang.

4. Media Sosial dan Chat

Penipu sering menggunakan akun palsu atau meretas akun teman untuk meminta pulsa, transfer, atau menyebarkan link berbahaya.

Lalu bagaimana modus Ini dilakukan?

Akun Palsu (Impersonation)

Pelaku membuat akun dengan foto dan nama mirip teman, keluarga, atau instansi resmi. Mereka lalu menghubungi korban dengan alasan mendesak, misalnya: “Tolong transfer dulu, nanti saya ganti.” “Saya butuh pulsa darurat, bisa bantu?” Karena terlihat seperti orang yang dikenal, korban sering langsung percaya.

Akun yang Diretas (Hijacked Account)

Penipu meretas akun media sosial atau WhatsApp seseorang. Lalu, dengan akun asli tersebut, mereka menyebar pesan ke kontak korban: Meminta uang atau pulsa, Menyebarkan link berbahaya dengan embel-embel “foto/video penting”. Karena pesan dikirim dari akun asli teman, banyak yang terjebak.

Link Berbahaya (Phishing Link)

Penipu menyebarkan tautan ke situs palsu, misalnya: “Lihat siapa yang sering stalking profil kamu!”. “Dapatkan hadiah saldo gratis Rp500.000, klik link ini.” Saat korban klik dan login, username serta password langsung dicuri.

Romance Scam / Penipuan Percintaan

Pelaku berpura-pura menjadi teman dunia maya yang ramah atau bahkan calon pasangan. Setelah membangun kedekatan emosional, mereka mulai meminta uang atau informasi pribadi dengan alasan yang menyentuh hati. 

Investasi Bodong dan Giveaway Palsu

Penipu membuat grup atau akun investasi dengan iming-iming keuntungan tinggi. Atau akun palsu yang meniru selebriti/figur publik dengan janji hadiah “giveaway”. Banyak korban tertipu karena tergiur janji cepat kaya.


Nah pertanyaannya adalah Mengapa Masyarakat Mudah Tertipu?. Kebanyakan dari kita gampang tertipu karena:

1. Kurangnya literasi digital: Banyak orang masih percaya begitu saja pada pesan yang terlihat resmi. 

2. Tekanan psikologis: Pelaku sering menggunakan rasa takut, panik, atau sebaliknya, rasa senang berlebihan (misalnya hadiah/undian).

3. Keinginan cepat dan praktis: Tanpa berpikir panjang, korban langsung mengikuti instruksi.

4. Kurang peduli keamanan: Masih banyak yang membagikan data pribadi dengan mudah.


Untuk itu kita harus bisa mencegah dan melindungi diri dari ancaman-ancaman tadi dengan cara:

1. Jangan langsung percaya pada SMS, telepon, atau chat yang meminta data pribadi.

2. Verifikasi sumber resmi: Hubungi langsung call center bank/instansi melalui nomor yang tertera di situs resmi.

3. Jangan bagikan OTP, PIN, atau password kepada siapa pun, bahkan pihak yang mengaku resmi.

4. Gunakan fitur keamanan berlapis: aktifkan notifikasi transaksi, two-factor authentication (2FA), dan ganti password secara berkala.

5. Laporkan penipuan ke pihak berwenang (OJK, bank, atau kepolisian) agar tidak ada korban lain.

6. Tingkatkan literasi digital: ikuti seminar, baca artikel edukatif, dan ajarkan keluarga/teman untuk lebih waspada.

Jadi, Social engineering bukan sekadar persoalan teknologi, tetapi menyasar sisi psikologis manusia. Di balik SMS, telepon, atau chat yang tampak biasa, bisa saja ada jebakan berbahaya yang mengincar data pribadi dan uang kita. Solusinya bukan hanya mengandalkan sistem keamanan digital, tetapi juga meningkatkan kesadaran masyarakat agar tidak mudah tergiur, takut, atau tergesa-gesa saat menerima informasi mencurigakan.

Dengan literasi digital yang kuat, kewaspadaan pribadi, dan dukungan sistem keamanan yang baik, kita dapat membebaskan masyarakat dari tipu-tipu social engineering. Ingat, keamanan digital dimulai dari diri sendiri. (sla)